PANCASILA


LCD

Selasa, 12 Februari 2013

Sejarah Kesaktian Pancasila

Sejarah G-30-S/PKI Peringatan Hari Kesaktian Pancasila merupakan tonggak sejarah yang harus diluruskan. Silahkan dibaca artikel berikut ini yang mengupas tentang Gerakan 30 September PKI Partai Komunis Indonesia yang menjadi awal Hari Kesaktian Pancasila. Benarkah ada bahaya laten komunis? Baca juga pengajuan referendum atas UUD 1945 oleh Gubernur Yogyakarta.
***
Dulu ketika masih di SD, SMP dan SMA, setiap tanggal 1 Oktober, saya dan juga satu generasi lainnya di Indonesia, selalu diwajibkan ikut upacara Hari Kesaktian Pancasila di sekolah.
Hari untuk memperingati dimana Pancasila tetap sakti, tidak takluk oleh ideologi komunis. Hari untuk memperingati saat enam jenderal dan satu perwira Angkatan Darat gugur dalam peristiwa yang hingga kini menjadi sejarah kelam negeri ini, peristiwa Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia atau G-30-S/PKI.
Dulu setiap tanggal 30 September malam, pasti diputar film berjudul Pengkhianatan G-30-S/PKI di televisi. Film sama yang diputar berulang-ulang sampai 12 tahun berturut-turut hingga pemirsa hafal detail jalan ceritanya. Film dengan tata musik dan efek suara yang mencekam. Waktu SD tiap kali adegan pembunuhan para jenderal dimulai, saya selalu tidak berani menontonnya, saya merasa takut bahkan sampai berbekas hingga sekarang. Bagi saya waktu itu, Pengkhianatan G-30-S/PKI adalah film horor yang maha menakutkan.
Setelah Orde Baru tumbang dan era reformasi bergulir, banyak orang bersuara tentang peristiwa tahun 1965. Banyak orang yang merasa tidak bersalah tapi disalahkan dalam kasus itu lalu dipenjara bertahun-tahun tanpa pengadilan. Orang yang terlibat dan dituduh antek PKI seperti menanggung ’dosa turunan’ bapak, anak hingga cucu akan menerima stigmatisasi sebagai PKI juga sehingga ruang gerak sosial-ekonomi dibatasi. Stigmatisasi tersebut secara massal menimpa etnis Tionghoa hanya karena mereka dianggap punya afiliasi dengan RRC yang pada waktu itu mendukung PKI. Padahal banyak yang dituduh tersebut justru rakyat awam yang tak tahu apa-apa.
Dulu waktu rezim Orde Baru berkuasa, pelajaran sejarah selalu menunjukkan bahwa PKI adalah pelaku utama satu-satunya peristiwa 30 September 1965. Pascareformasi, ada yang menyuarakan PKI cuma kambing hitam dari intrik dan ambisi segelintir orang untuk meraih kekuasaan. Sampai sekarang, misteri seputar peristiwa yang menjadi titik balik revolusi di Indonesia dan berujung 32 tahun rezim Orde Baru berkuasa, masih gelap. Entah kapan misteri itu akan terkuak.
Dari sekian banyak pelajaran sejarah tentang Indonesia, mungkin peristiwa 1965 yang paling rumit. Bisa jadi buku pelajaran sejarah yang sekarang dibaca anak-anak SD, SMP dan SMA tentang peristiwa itu sudah sangat berbeda dengan pelajaran sejarah tentang peristiwa itu yang dulu saya terima. Bisa jadi, sudah sangat berbeda. Dulu, dari SMP hingga perguruan tinggi seluruh rakyat Indonesia wajib mengikuti Penataran P4 yang merupakan indoktrinasi Pancasila yang selalu menekankan bahaya laten PKI. Tapi kini Penataran P4 tidak ada lagi bahkan pelajaran PMP dan mata kuliah Pancasila juga dihapuskan.
Sejarah Gelap
Setelah Orde Baru tumbang, debat tentang G-30-S/PKI seakan tidak pernah berhenti. Ia terus menjadi kontroversi. Tetapi ada kecenderungan, mereka yang semula meyakini PKI menjadi dalang Gerakan 30 September 1965 mulai mengendur atau sekurangnya mereka seperti cukup berkata dalam diam. Sementara suara yang menolak atau tak percaya keterlibatan PKI makin nyaring. Ada pihak yang menghendaki penyebutan G-30-S/PKI cukup dengan G-30-S saja tanpa singkatan PKI, karena ada gugatan keraguan bahwa PKI yang mendalangi gerakan tersebut. Ini patut diperdebatkan.
Negara juga cenderung bersikap pasif dan membiarkan keraguan ini terus menyeruak di tengah masyarakat. Kini selama reformasi misalnya, setiap 30 September tak ada lagi kewajiban mengibarkan bendera setengah tiang tanda perkabungan nasional. Para guru di sekolah juga tak lagi segairah dulu menjelaskan kejahatan dan kebiadaban PKI. Zaman memang telah berubah, juga pandangan-pandangan masyarakatnya tentang hal-hal yang dulu dianggap ‘luar biasa’. PKI kini memang tak lagi dianggap sebagai monster atau hantu menakutkan.
Dulu, hal-hal yang berkenaan dengan komunis diberangus bahkan buku yang ditulis oleh orang yang berhaluan ’kiri’ juga dilarang beredar. Buku-buku sastra karya Pramudya Ananta Toer dilarang hanya karena ia bekas pemimpin Lekra, salah satu onderbouw PKI. Kini, komunis sebagai ideologi yang dibicarakan biasa-biasa saja, bahkan buku-buku tentang ideologi komunis bebas beredar di masyarakat. Toh, dengan membaca buku-buku Karl Marx atau Friederich Engels misalnya, tak lantas membuat orang menjadi komunis.
Apa yang sebenarnya terjadi 45 tahun lalu, pada sebuah peristiwa yang disebut Gerakan 30 September atau G-30-S atau G-30-S/PKI oleh mereka yang yakin pelakunya Partai Komunis Indonesia? Peristiwa ini kadangkala juga disebut Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) atau Gestok (Gerakan Satu Oktober) karena secara kronologis peristiwa ini memang terjadi pada 1 Oktober dini hari. Pertanyaan itu hampir tidak pernah memperoleh jawaban yang lengkap. Bahkan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) sebagai bagian dari rangkaian peristiwa yang terkait, juga masih diperdebatkan isi dan bentuknya, bahkan dokumen aslinya belum ditemukan hingga sekarang.
Hal ini menunjukkan bahwa sejarah bangsa Indonesia diwarnai babak-babak yang masih kelabu, bahkan gelap. Berbagai buku yang diterbitkan tidak cukup memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Buku-buku yang muncul, bukan saja berisi informasi yang berbeda, bahkan bertentangan. Masyarakat disodori buku-buku yang dikritik memiliki banyak kelemahan, menggunakan sumber-sumber yang tak teruji dan berbau kepentingan, serta hanya untuk mengecam dan melakukan pembelaan diri atas dosa di masa lalu.
Buku-buku, perbincangan, bahkan seminar ilmiah belum mampu menguak misteri peristiwa yang bersimbah darah yang dialami bangsa ini. Jangan dikira bahwa korban G-30-S adalah hanya para perwira yang kini disebut Pahlawan Revolusi. Tapi efek dari lanjutannya adalah ’pembersihan’ secara sistematis dan massal dari orang-orang yang diduga terlibat G-30-S. Sumber-sumber dari luar negeri menyebutkan angka korban jiwa mencapai 1,9 juta di seluruh Indonesia di tambah jutaan orang yang terampas kemerdekaan, hak politik, ekonomi sosial dan budayanya.
Kebesaran Jiwa
Kegelapan sejarah ini ternyata bukan saja dialami oleh mereka yang lahir setelah tahun 1965, tetapi juga mereka yang sudah lahir beberapa tahun sebelumnya. Dan sekarang, guru-guru sekolah dibiarkan memilih sumber sendiri untuk menjelaskan semua itu kepada murid-muridnya. Kita tidak tahu apa yang ada di pikiran anak-anak kita tentang peristiwa yang begitu besar dan mewarnai perjalanan bangsa.
Dalam keadaan seperti ini, maka setiap orang bisa menulis sejarah itu dalam memorinya sendiri, dengan persepsi dan versinya sendiri. Sebagai bangsa kita tidak memiliki sejarah yang sama, karena banyak sekali peristiwa yang tidak kita pahami dan terima secara bersama. Ini adalah titik rapuh yang serius bagi bangsa kita, karena kebangsaan kita sebenarnya dibangun dengan pengalaman sejarah yang sama dan hanya akan bisa dipertahankan dengan kebersamaan dalam ’menulis’ sejarah yang sama pula.
Keprihatinan dan kepedulian tentang masalah ini tampaknya juga belum mampu menggerakkan kita untuk mengatasi masalah ini. Elite-elite kita yang berada pada pusaran sejarah peristiwa-peristiwa tersebut masih begitu berat untuk bicara jujur dan meletakkan pelita untuk menerangi babak-babak sejarah itu. Pertimbangan melindungi diri terlihat begitu kuat daripada kepentingan bangsa, dan membiarkan bangsa ini tidak pernah berdamai dengan masa lalunya.
Sementara buku-buku yang muncul dengan informasi yang simpang siur dan bertabrakan, justru membuat masalah masa lalu itu terus hidup dan terus menghantui sampai sekarang. Dan sejarah yang gelap tidak memberikan pelajaran apa-apa bagi kita sekarang, kecuali menjadi beban. Kita khawatir bahwa keadaan yang seperti ini akan semakin parah dan kita sebagai bangsa kehilangan orientasi tentang jati diri, bangsa tanpa sejarah.
Sejarah memang tidak sepenuhnya berupa kegemilangan yang dicatat dengan tinta emas. Sejarah tidak selamanya berisi kejayaan yang diabadikan dalam prasasti atau monumen peringatan. Memang diperlukan kebesaran jiwa untuk mencatat sejarah secara jujur dan objektif, juga kesediaan mencatat kepahitan dan sisi buruk kita sebagai bangsa, agar kita dapat mengambil hikmah dari peristiwa masa lampau. Sejarah dapat dijadikan acuan dalam memperbaiki kondisi di masa depan.
Penguakan misteri G-30-S/PKI bukan untuk meneruskan dendam, tetapi justru agar kita bisa belajar dari masa silam. Belajar dari kesalahan masa silam juga bisa meningkatkan kualitas kita sebagai bangsa. Sejarah di mana pun memang sering melahirkan perdebatan tiada henti. Ia bisa menjadi amat subjektif tergantung dari mana melihatnya. Karena itu, sering pula batas antara pahlawan dan pengkhianat hanya terpisah oleh batas yang amat tipis, yakni pergantian rezim atau politik. Tetapi apa pun alasannya, sebuah bangsa mestinya mempunyai sejarah yang ditulis dengan jujur.
Dan sekarang ini bangsa Indonesia memerlukan kebesaran jiwa untuk meluruskan sejarah masa lalu yang masih gelap, termasuk peristiwa 45 tahun lalu dan peristiwa-peristiwa penting kemudian. Dalam konteks ini kita perlu mendorong Sekretariat Negara, Kementerian Pendidikan Nasional, ahli sejarah, akademisi di perguruan tinggi dan lembaga penelitian untuk bersinergi menulis ulang bagian-bagian gelap sejarah kita secara objektif, jujur dan bisa dipertanggungjawabkan agar generasi mendatang tidak larut dalam keraguan.
readmore »»  

Selasa, 11 Oktober 2011

Makna kesaktian pancasila

Makna Kesaktian Pancasila

Sebagai dasar negara, Pancasila tidak hanya merupakan sumber derivasi peraturan perundang-undangan.
Melainkan juga Pancasila dapat dikatakan sebagai sumber moralitas terutama dalam hubungan dengan legitimasi kekuasaan, hukum, serta berbagai kebijakan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara.
Pancasila mengandung berbagai makna dalam  kehidupan berbangsa dan bernegara.

Makna yang pertama Moralitas, sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa” mengandung pengertian bahwa negara Indonesia bukanlah negara teokrasi yang hanya berdasarkan kekuasaan negara dan penyelenggaraan negara pada legitimasi religius. Kekuasaan kepala negara tidak bersifat mutlak berdasarkan legitimasi religius, melainkan berdasarkan legitimasi hukum serta legitimasi demokrasi. Oleh karenanya asas sila pertama Pancasila lebih berkaitan dengan legitimasi moralitas.
Para pejabat eksekutif, anggota legislatif, maupun yudikatif, para pejabat negara, serta para penegak hukum, haruslah menyadari bahwa selain legitimasi hukum dan legitimasi demokratis yang kita junjung, juga harus diikutsertakan dengan legitimasi moral. Misalnya, suatu kebijakan sesuai hukum, tapi belum tentu sesuai dengan moral.
Salah satu contoh yang teranyar yakni gaji para pejabat penyelenggara negara itu sesuai dengan hukum, namun mengingat kondisi rakyat yang sangat menderita belum tentu layak secara moral (legitimasi moral).
Hal inilah yang membedakan negara yang berketuhanan Yang Maha Esa dengan negara teokrasi. Walaupun dalam negara Indonesia tidak mendasarkan pada legitimasi religius, namun secara moralitas kehidupan negara harus sesuai dengan nilai-nilai Tuhan terutama hukum serta moral dalam kehidupan bernegara.

Makna kedua Kemanusiaan, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” mengandung makna bahwa negara harus menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang beradab, selain terkait juga dengan nilai-nilai moralitas dalm kehidupan bernegara.
Negara pada prinsipnya adalah merupakan persekutuan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Bangsa Indonesia sebagai bagian dari umat manusia di dunia hidup secara bersama-sama dalam suatu wilayah tertentu, dengan suatu cita-cita serta prinsip-prinsip hidup demi kesejahteraan bersama.
Kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung nilai suatu kesadaran sikap moral dan tingkah laku manusia yang didasarkan pada potensi budi nurani manusia dalam hubungan norma-norma baik terhadap diri sendiri, sesama manusia, maupun terhadap lingkungannya.
Oleh Karena itu, manusia pada hakikatnya merupakan asas yang bersifat fundamental dan mutlak dalam kehidupan negara dan hukum. Dalam kehidupan negara kemanusiaan harus mendapat jaminan hukum, maka hal inilah yang diistilahkan dengan jaminan atas hak-hak dasar (asas) manusia. Selain itu, asas kemanusiaan juga harus merupakan prinsip dasar moralitas dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara.

Makna ketiga, Keadilan. Sebagai bangsa yang hidup bersama dalam suatu negara, sudah barang tentu keadilan dalam hidup bersama sebagaimana yang terkandung dalam sila II dan V adalah merupakan tujuan dalam kehidupan negara. Nilai kemanusiaan yang adil mengandung suatu makna bahwa pada hakikatnya manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan beradab harus berkodrat adil.
Dalam pengertian hal ini juga bahwa hakikatnya manusia harus adil dalam hubungan dengan diri sendiri, adil terhadap manusia lain, adil terhadap lingkungannya, adil terhadap bangsa dan negara, serta adil terhadap Tuhannya. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan, serta pembagian senantiasa harus berdasarkan atas keadilan. Pelanggaran atas prinsip-prinsip keadilan dalam kehidupan kenegaraan akan menimbulkan ketidakseimbangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Makna keempat, Persatuan. Dalam sila “Persatuan Indonesia” sebagaimana yang terkandung dalam sila III, Pancasila mengandung nilai bahwa negara adalah sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia monodualis, yaitu sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Negara merupakan suatu persekutuan hidup bersama diantara elemen-elemen yang membentuk negara berupa suku, ras, kelompok, golongan, dan agama. Konsekuensinya negara adalah beraneka ragam tetapi tetap satu sebagaimana yang tertuang dalam slogan negara yakni Bhinneka Tunggal Ika.

Makna kelima, Demokrasi. Negara adalah dari rakyat dan untuk rakyat, oleh karena itu rakyat adalah merupakan asal mula kekuasaan negara. Sehingga dalam sila kerakyatan terkandung makna demokrasi yang secara mutlak harus dilaksanakan dalam kehidupan bernegara. Maka nilai-nilai demokrasi yang terkandung dalam Pancasila adalah adanya kebebasan dalam memeluk agama dan keyakinannya, adanya kebebasan berkelompok, adanya kebebasan berpendapat dan menyuarakan opininya, serta kebebasan yang secara moral dan etika harus sesuai dengan prinsip kehidupan berbangsa dan bernegara.
Seandainya nilai-nilai Pancasila tersebut dapat diimplementasikan sebagaimana yang terkandung di dalamnya, baik oleh rakyat biasa maupun para pejabat penyelenggara negara, niscayalah kemakmuran dan kesejahteraan bangsa dan negara bukanlah hal yang mustahil untuk diwujudkan secara nyata.
Terlebih lagi hingga kini kita selaku bangsa tentulah malu terhadap para pendiri negara yang telah bersusah payah meletakkan pondasi negara berupa Pancasila, sedangkan kita kini seakan lupa dengan tidak melaksanakan nilai-nilai Pancasila yang sangat sakti tersebut.
Perilaku KKN, kerusuhan antar sesama warga negara, ketidakadilan dan ketimpangan sosial, berebut jabatan, perilaku asusila, serta berbagai perilaku abmoral lainnya adalah segelintir perilaku yang hanya dapat merusak nilai Pancasila itu sendiri. Kini, Marilah kita kembali junjung tinggi nilai-nilai Pancasila agar kita tetap dipandang sebagai bangsa dan negara yang beradab, beragama, beretika, dan bermoral
readmore »»  

Minggu, 09 Oktober 2011

 SEJARAH PERUMUSAN

RUMUSAN RUMUSAN PANCASILA
Dalam upaya merumuskan Pancasila sebagai dasar negara yang resmi, terdapat usulan-usulan pribadi yang dikemukakan dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yaitu :
  • Lima Dasar oleh Muhammad Yamin, yang berpidato pada tanggal 29 Mei 1945. Yamin merumuskan lima dasar sebagai berikut: Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Dia menyatakan bahwa kelima sila yang dirumuskan itu berakar pada sejarah, peradaban, agama, dan hidup ketatanegaraan yang telah lama berkembang di Indonesia. Mohammad Hatta dalam memoarnya meragukan pidato Yamin tersebut.
  • Panca Sila oleh Soekarno yang dikemukakan pada tanggal 1 Juni 1945 dalam pidato spontannya yang kemudian dikenal dengan judul "Lahirnya Pancasila". Sukarno mengemukakan dasar-dasar sebagai berikut: Kebangsaan; Internasionalisme; Mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan; Kesejahteraan; Ketuhanan. Nama Pancasila itu diucapkan oleh Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni itu, katanya:
Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa - namanya ialah Pancasila. Sila artinya azas atau dasar, dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.
Setelah Rumusan Pancasila diterima sebagai dasar negara secara resmi beberapa dokumen penetapannya ialah :
readmore »»